Kamis, 20 Oktober 2016

kisah inspiratif



                                            ' BERBAKTI PADA IBU ''

Disalah satu pengadilan Qasim. Kerajaan saudi Arabia. Berdiri Hizan Alfuhaidi dengan air mata yang bercucuran sehingga membasahi janggutnya. Kenapa ? karena berseteru masalah harta, tahta, wanita ? Bukan…! melainkan karena perseteruan dengan saudara kandungnya. karena kekalahannya mengenai perawatan ibunya yang sudah tua renta dan hanya memakai cincin timah di jarinya yang telah keriput. Seumur hidupnya, beliau tinggal bersama Hizan yang selama ini menjaganya.
Tatkala beliau telah manula. Datanglah adiknya yang tinggal dikota lain, untuk mengambil ibunya agar tinggal bersamanya. Dengan alasan, fasilitas kenyamanan kesehatan dan lainnya dikota jauh lebih baik dari pada didesa. Namun Hizan menolak dengan alasan bahwa ia selama ini mampu menjaga ibunya. Perseteruan ini tidak berakhir sampai disini, hingga berlanjut ke pengadilan!. Sidang demi sidang dilalui hingga hakim meminta agar sang ibu dihadirkan ditengah-tengah mejlis.
Lalu kedua saudara kakak beradikpun membopong sang ibu yang telah tua renta yang beratnya sudah tidak sampai 40kg!. Sang Hakim bertanya padanya. Siapakah yang lebih berhak tinggal bersamanya. Sang ibu memahami pertanyaan sang Hakim lalu menjawabnya, sambil menunjuk ke Hizan. “ ini mata kananku” kemudian menunjuk kepada adiknya. “ ini mata kiriku”!
Sang Hakim berfikir sejenak lalu memutuskan hak kepada adik Hizan, berdasar kemaslahatan-kemaslahatan bagi si ibu.
Betapa mulia air mata yang dikucurkan oleh Hizan!. Air mata penyesalan karena tidak dapat memelihara ibunya tatkala beliau telah menginjak usia lanjutnya. Dan betapa terhormat dan agungnya sang ibu. Yang diperebutkan oleh anak-anaknya hingga seperti ini!
Andaikata kita bisa memahami, bagaimana sang ibu mendidik kedua anaknya hingga ia menjadi ratu dan mutiara termahal bagi anak-anaknya. Ini adalah pelajaran mahal mengenai berbakti. tatkala durhaka telah menjadi budaya.
“ Yaa Allah Yaa Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami keridhoan ibu kami, dan berilah kami kekuatan agar senantiasa dapat berbakti padanya. Amiiin Yaa Rabbal'Alamiin …

Di Jepang dulu pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan.
Mereka yg dibuang ialah orang tua yg sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya.
PADA s/ hari, ada seorang Pemuda yg berniat membuang ibu-
nya ke hutan, itu karena si ibu sudah lumpuh dan agak pikun.
Si Pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yg kelihatan tak berdaya berusaha
menggapai setiap ranting pohon yg bisa diraihnya lalu mematah-
kannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yg mereka lalui.
Sesampai di dalam hutan yg sangat lebat, si anak menurunkan
ibu tsb dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha me-
nahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan
perbuatan ini terhadap ibunya.
Justru si Ibu yg tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata,
"Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kecil sampai dewasa,
Ibu selalu merawatmu dg segenap cintaku.
Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikit pun.
Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yg kita lalui dg ranting-
ranting kayu. Ibu takut kamu tersesat, ikutilah tanda itu agar kau
selamat sampai di rumah."
Setelah mendengar kata-kata tsb, si anak menangis dg sangat
keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggen-
dongnya u/ membawa si Ibu pulang ke rumah.
Pemuda tsb akhirnya merawat Ibu yg sangat mengasihinya sampai
ibunya meninggal.
Orang tua BUKAN BARANG RONGSOKAN yg bisa dibuang atau
diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena saat engkau sukses a/ saat engkau dalam keadaan susah, hanya orang tua yg
mengerti kita dan bathinnya akan menderita kalau kita susah.
'Orang tua' tidak pernah meninggalkan kita, bagaimana pun keadaan kita, walau pun kita pernah kurang ajar kepada orang tua.
Namun 'orang tua' kita akan tetap mengasihi kita sampai kapan pun.
MULAI sekarang, mari kita lebih mengasihi 'orang tua' kita selagi
mereka masih hidup. Kasih orang tua TAK TERBATAS.

Rabu, 19 Oktober 2016



ORANG JEPANG NAIK HAJI"
“Subarashi..! Subarashi..!” atau “Luar Biasa.! Luar Bias.!”, itulah yang ber-ulangkali diucapkan oleh Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami.
Kalimat itu diucapkannya saat melihat Ka’bah.
Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang ikut haji tahun ini dari kloter haji embarkasi Jepang.
Bagi Omar-san, yang baru memeluk Islam 3 tahun lalu, ini adalah kali pertamanya naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masif-nya jumlah jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang saat bersamaan dan melaku-kan ritual haji yang sama.
Ada satu kekuatan besar yang mampu membawa berjuta-juta orang secara sukarela datang ke tanah suci. Hal itulah yang membuatnya terpana di depan Ka’bah.
Berangkat haji bersama orang Jepang menarik. Bagaimana tidak, selama tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang yang beragama Islam (ataupun beragama lainnya, Kristen atau Yahudi). Kebanyakan tidak memilih agama tertentu, mereka kebanyakan menganut ajaran Shinto yang lebih bersifat budaya ketimbang agama.
Sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku lebih dari orang beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun, disiplin, dan tertib dalam ber-masyarakat. Semua ajaran agama yang menganjur-kan kebaikan dan perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa harus memeluk suatu agama tertentu. Hal ini bisa di-lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Agama, datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku manusia. Sayapun bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah baik, masih perlukah orang Jepang memeluk agama.
Menurutnya, Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan aplikatif dari ajaran "agama-nya"..
Namun pada ujungnya, manusia tetap membutuh-kan tambatan hati. Sebuah oase tempat mengadu dalam keadaan sendiri, baik suka maupun duka. Sebuah tautan kala sedang dirundung beragam masalah dan tekanan dunia.
Tanpa agama, berbagai pelarian dicari oleh orang Jepang untuk mencari ketenangan hati. Jadi., menurut Omar san, orang Jepang masih memerlukan agama.
Hal itulah yang me-latarbelakangi Omar-san untuk memeluk agama. Ia mengatakan bahwa setelah beragama, ia menemukan ketenangan hati dan kedamaian jiwa. Meski demikian, banyak orang yang bertanya padanya, tidakkah sulit menjadi Islam di Jepang.
Permasalahan bagi orang Jepang dalam memeluk Islam bukan pada ideologi, namun pada urusan praktikalitas ritual.
Menjalankan ibadah sholat sebanyak 5 kali sehari, puasa sebulan, dan melaksanakan haji, adalah aktivitas yang sangat sulit dalam lingkungan orang Jepang.
Bangsa Jepang adalah pekerja keras. Bekerja di perusahaan Jepang misalnya, sulit mendapat dispensasi ijin sholat pada waktunya, apalagi cuti ibadah haji. Nyaris mustahil untuk dikabulkan. Belum lagi soal pilihan makanan halal yang amat jarang di Jepang.
Namun berbeda dengan barat yang memiliki prejudice tentang Islam, di Jepang pandangan masyarakat tentang Islam tidak seburuk di barat. Bagi orang Jepang, agama apa saja dipandang baik, karena ajaran setiap agama adalah mengarah pada kebaikan. Oleh karena itu, Islam lebih gampang diterima banyak orang Jepang.
Omar-san sendiri beruntung. Ia adalah Presiden Direktur (Sachoo) sebuah perusahaan konstruksi milik sendiri. Perusahaannya tergolong besar di daerah Kasugai, Aichi-Ken, di sekitar kota Nagoya. Jadi., ia bisa mengatur praktik ritual agama, termasuk saat ia memutuskan naik haji bersama istrinya, yang juga orang Jepang.
Selain Omar-san ada Saif Takehito, diplomat Jepang di Kedutaan Besar Jepang di Dubai. Jago bahasa Arab dan ahli membaca Al Qur’an (saya saja sampai minder mendengar ia membaca Qur’an).
Sementara yang lain-nya Muhammad Syarief seorang wirausaha tinggal di Tokyo.
Karakter dan kultur dari orang Jepang yang baik dan santun, tercermin saat menjalankan ibadah haji. Dalam kondisi apapun, mereka tetap diam dan sabar. Persis saat mereka menghadapi bencana alam Maret lalu.
Tekanan terbesar dari ibadah haji adalah soal kesabaran. Mulai dari kedatangan di Arab, prosesi ibadah, aktifitas sehari-hari, hingga kembali ke Jepang, ujian kesabaran silih berganti.
Banyak dari kita yang kadang lepas kontrol, lalu marah-marah dan malah beradu mulut dengan jamaah lain. Tapi saya melihat para jamaah haji dari Jepang memiliki kesabaran yang tinggi. Padahal mereka dihadapkan pada kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan negaranya yang tertib dan teratur.
Suatu malam di Mina, terjadi kekacauan di maktab kami, saat kembali dari melempar jumrah, tenda kami dipindahkan pengelola. Akibatnya, barang-barang semua tercecer, bahkan ada yang kehilangan.
Beberapa jamaah haji dari negara lain ada yang marah-marah dan menyalahkan panitia karena tidak menjaga barangnya dan bahkan sampai ingin menuntut ganti rugi.
Masya Allah!
Mereka sampai harus ditenangkan oleh semua yang ada di tenda, “Sabar haji. Sabar.Istighfaar.This is Hajj...”. Baru-lah kemudian mereka me-ngucapkan istighfar dan meminta maaf karena menimbulkan kekacauan di tenda.
Sementara itu saya melihat Muhammad Syarief kehilangan sleeping bag-nya hanya celingak celinguk tapi diam saja tanpa protes dan mengeluh. Ia malah menggelar handuk dan tidur langsung di karpet dalam diam. Simpati jamaah di tenda kami-pun diarahkan pada dirinya. Kamipun meminjamkan-nya sleeping bag, memberinya obat dan makanan, serta menawarkan lokasi tidur yang nyaman. Semua jamaah simpati pada kesantunan orang Jepang ini.
Hal serupa saya juga perhatikan dari diri Saif Takehito. Suatu malam kita harus menunggu di Arafah hingga menjelang tengah malam. Saat itu ada kecelakaan bis sehingga semua jalan menuju Muzdalifah di-tutup. Akibatnya bis rombongan kita tertunda keberangkatannya ke Muzdalifah. Banyak jamaah di kelompok kami yang beradu mulut dan berdebat. Mereka merasa harus tiba di Muzdalifah sebelum tengah malam dan melakukan sholat dua rakaat, sesuai sunah Nabi. Pimpinan rombongan mengatakan bahwa dalam kondisi darurat, sholat bisa dilaksanakan di Arafah. Tapi banyak jamaah yang tidak terima, perdebatanpun terjadi bahkan cenderung memanas.
Saif Takehito saya lihat hanya duduk saja di bawah pohon sambil berulangkali melafazkan nama-nama Allah (berdzikir).
Saat saya tanya bagaimana pendapatnya, Saif berkata yang terjadi di luar kehendak manusia, kita tak bisa berbuat apa. Semua kehendak Allah. Jadi janganlah kita saling berbantahan, kita harus bersabar dan ikuti perintah pimpinan kita.
Masya Allah, jadi malu oleh ucapan dari orang Jepang yang notabene baru memeluk Islam.
Meski orang Jepang dihadapkan pada suasana yang jauh berbeda dengan negerinya, mereka ternyata bisa memahami dan tetap sabar. Mereka tidak mengeluh dan menyalah-kan keadaan.
Hal tersebut memberi saya sebuah kesadaran, bahwa keber-agama-an bukan semata soal pengetahuan. Akhlak dan perilaku baik, terbentuk bukan saja dari pengetahuan, tapi lebih pada kebiasaan.
Orang Jepang sejak kecil sudah dibiasakan dan di-didik berbuat baik, sabar, dan memerhatikan kepentingan orang lain.
Di sekolah, di rumah, di masyarakat, ajaran dan yang dilihat sama. Sementara banyak orang beragama yang hanya diajarkan dan diminta menghafalkan cara berbuat baik dan sabar.
Itulah sebabnya dulu Nabi Muhammad Saw senantiasa berkata, “Biasakanlah berbuat baik., biasakanlah berbuat baik” Bukan menghafal perbuatan baik, tapi membiasakan berbuat baik. Tentu tujuan-nya agar kita menjadi orang baik, yang sebaik-baiknya.

Selasa, 18 Oktober 2016

MANFAAT SEDEKAH


Tiba-tiba seorang kakek muncul ketika Rasulullah sedang berkumpul bersama para sahabatnya di dalam masjid selepas mengerjakan shalat jamaah.
"Wahai, Rasulullah. Saya sangat lapar. Tolonglah saya. Dan saya tidak punya pakaian kecuali yang menempel di badan sekarang. Berilah saya."
Sebenarnya Rasulullah sangat iba menyaksikan keadaan orang tua itu. Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya agak gemetar memegangi tongkatnya. Cuma kebetulan beliau sedang tidak punya apa-apa. Sudah habis diberikannya kepada orang lain.
"Maaf, orang tua. Tidak ada yang dapat saya berikan saat ini. Tetapi jangan putus asa. Datanglah kepada anak saya, Fatimah, mungkin ada sesuatu yang bisa diberikannya sebagai sedekah.
Maka pergilah kakek itu kepada Fatimah. Di depan rumahnya kakek itu berseru, "Wahai putri Rasulullah. Aku lapar sekali. Dan tidak punya apa-apa. Aku datang kepada ayahmu, tetapi beliau sedang tidak punya apa-apa. Aku disuruhnya datang kepadamu. Mungkin engkau, punya sedekah untukku?"
Fatimah kebingungan. Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk disedekahkan. Padahal, selaku keluarga Rasulullah ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh di bawah taraf kehidupan rakyat jelata.
Yang dianggapnya masih lumayan berharga cuma selembar kulit kambing yang biasa dipakai sebagai alas tidur Hasan dan Husain. Jadi, itulah yang diambil dan diserahkannya kepada si kakek.
Orang tua itu lebih kebingungan daripada yang memberikannya. Ia sedang lapar dan tidak punya apa-apa. Mengapa kepadanya diserahkan selembar kulit kambing? Buat apa?
"Wahai Putri Rasulullah. Apakah kulit kambing itu dapat mengenyangkan perutku dan dapat kupakai untuk menghangatkan badanku?" tanya orang tua itu.
Fatimah tidak bisa menjawab. Ia kembali masuk ke dalam rumahnya, mencari-cari benda lain yang pantas disedekahkan. ia bertanya-tanya, mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku, padahal Ayah tahu aku tidak lebih kaya daripada beliau?
Sesudah termenung sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang pemberian Fatimah binti Abdul Muthalib, bibinya. Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya karena ia dikenal sebagai pimpinan umat. Barang itu adalah sebuah kalung emas.
Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya, lalu diserahkan kepada si kakek. Orang itu terbelalak melihat benda yang kini digenggamnya. Begitu indah. Pasti amat mahal harganya. Dengan suka cita orang itu pergi menemui Rasulullah kembali di masjid.
Diperlihatkannya kepada beliau kalung emas pemberian Fatimah. Rasulullah hanya berdoa, "Semoga Allah membalas keikhlasannya."
Salah satu sahabat nabi yang kaya raya, Abdurrahman bi Auf, berkata, "Hai, orang tua. Maukah kaujual kalung itu kepadaku?"
Kakek itu menoleh kepada Nabi, "Bolehkah saya jual, Ya Rasul?"
"Silakan, kalung itu milikmu," sahut Nabi.
Orang tua itu lantas berkata kepada sahabat Abdurrahman bin Auf, "Berikan kepadaku beberapa potong roti dan daging untuk mengganjal perutku, dan sekedar biaya kepulanganku ke kampung."
Abdurrahman bi Auf mengeluarkan duapuluh dinar dan seratus dirham, beberapa potong roti dan daging, pakaian serta seekor unta untuk tunggangannya ke kampung.
Dengan gembira kakek itu berkata, "Terima kasih, wahai kekasih Allah. Saya telah mendapatkan lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya telah merasa menjadi orang kaya.
Nabi menjawab, "Terima kasih kepada Allah dan Rasul-Nya harus diawali dengan berterimakasih kepada orang yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah."
Orang tua itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, "Ya Allah, aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan yang sepadan. Karena itu aku mohon kepada -Mu, berilah Fatimah balasan dari hadirat -Mu, berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dan tidak terbetik di hati, yakni surga -Mu, Jannatun Na'im."
Rasulullah menyambut doa itu dengan amin seraya tersenyum ceria.
Beberapa hari kemudian, budak Abdurrahman bin Auf, bernama Saham datang menghadap Nabi sambil membawa kalung yang dibeli dari orang tua itu.
Ya Rasulullah," ujar Saham. "Saya datang kemari diperintahkan Tuan Abdurrahman bin Auf untuk menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu."
Rasulullah tertawa. "Ku terima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu ke rumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya. Juga engkau kuberikan untuk Fatimah."
Saham lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan Rasulullah untuknya. Fatimah dengan lega menyimpan kalung itu di tempat semula, lantas berkata kepada Saham, "Engkau sekarang telah menjadi hakku karena itu, engkau kubebaskan. Sejak hari ini engkau kembali menjadi orang merdeka."
Saham tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan, "Mengapa engkau tertawa?"
Bekas budak itu menjawab, "Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya.
Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri junjungan, namun karena dilandasi keikhlasan, kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga untukmu, dan kini telah membebaskan aku menjadi manusia merdeka."
(Dituli

ARTIKEL

KISAH INSPIRATIF




Sebuah kapal pesiar mengalami, kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. Sepasang suami istri berlari menuju sekoci untuk menyelamatkan diri, sampe disana, mereka menyadari bahwa hanya ada satu tempat, untuk satu orang yg tersisa.
Segera sang suami melompat mendahului sang istri, untuk mendapatkan tempat itu, sang istri hanya bisa menatap sang suami yg berlalu meninggalkannya.sambil meneriakan sebuah kalimat sebelum skoci menjauh, dan kapal bener" menenggelamkannya,,
🎆 Guru yg menceritakan kisah ini, bertanya pada murid" nya,,
Menurut kalian kalimat apa yg di teriakan oleh sang istri???
Sebagian besar murid" itu menjawab
" aku benci kamu!!
"Kamu tau aku buta''
" tega nya dirimu!!
"Kamu egois
Tp ada seorang murid, yg diam saja, dan guru pun meminta sang murid tuk menjawab,, dan kata si murid,,
" guru, saya yakin si istri pasti berteriak,, tolong jaga anak kita baik" ya, biar lah aku yg tenggelam
Guru itu terkejut, dan bertanya,,
Apa kamu sudah pernah dengar cerita ini sebelumnya?
Murid itu hanya menggelengkan kepala, belum,,
Tp itu yg di katakan oleh mama saya sebelum beliau meninggal karena penyakit kronis,,
Guru itu menatap seluruh kelas dan berkata,, itu jawaban yg benar
Kapal itu kemudian bener" tenggelam dan sang suami membawa pulang anak mereka sendirian,
Bertahun" kemudian setelah sang suami meninggal, anaknya menemukan buku harian ayahnya, disana dia menemukan kenyataan bahwa saat orang tua naik kapal pesiar itu, mereka sudah mengetahui bahwa sang ibu menderita penyakit kronis dan akan segera meninggal menurut dokter, karena itu di saat darurat, ayahnya memutuskan menggambil satu"nya kesempatan tuk bertahan hidup demi buah cintanya..
Dia menulis di buku harian itu,, " betapa aku berharap untuk mati di bawah laut bersamamu, denganmu, membawa cinta kita,, tp demi buah hati kita aku harus membiarkanmu tenggelam, sendirian tuk selama lamanya, aku pun janji akan sllu sendiri sampe maut mempertemukan kita kembali,, cerita ini pun selasai, dan seisi kelas pun terdiam,, guru itu yakin bahwa murid"nya sekarang mengerti moral dari cerita tersebut,, bahwa kebaikan, dan kejahatan di dunia ini, tidak sesederhana yg kita sering pikirkan, ada berbagai macam komplikasi dan alasan di baliknya,yg kadang sulit di mengerti
Karena itulah kita seharusnya jangan pernah melihat hanya dari luar dan kemudian menghakiminya,apa lg yg tak tau apa" karena
Mereka yg sering membayar untuk orang lain, mungkin bukan berarti mereka kaya, tp karena mereka menghargai hubungan dari pada uang,,
Mereka yg bekerja tanpa ada yg menyuruh, mungkin bukan karena mereka bodoh, tp karena mereka menghargai konsep tanggung jawab
Mereka yg minta maaf duluan setelah bertengkar, mungkin bukan berarti mereka bersalah, tp karena menghargai orang lain dari pd dirinya sendiri
Mereka yg mengulurkan tangan untuk menolongmu, mungkin bukan karena mereka merasa berhutang, tp karena mereka menganggap kamu sahabat
Mereka yg sering mengontakmu, mungkin bukan karena tidak punya kesibukan, tp karena kamu di hatinya,
Mereka yg sllu menyanjung mu setinggi langit, mungkin bukan karena engkau pahlawan tp mungkin mereka memaafkan keburukan mu
Mereka yg sllu menghinamu dan menghakimimu, bukan karena mereka membencimu, tp mungkin mereka ingin menguji ketulusan cintam
Dan
Mereka yg sllu ingin di sapa karena merasa hanya engkau yg di cinta